Keanekaragaman Budaya dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman Budaya Di Indonesia dalam perspektif antropologi. Manusia dengan kemampuan akal dan budinya telah mengembangkan berbagai macam sistem tindakan demi keperluan hidupnya. Berbagai macam sistem tindakan itulah yang akhirnya memunculkan keanekaragaman budaya, dan ini merupakan obyek kajian serta analisa yang penting bagi ahli Antropologi. Negara Indonesia yang berbentuk kepulauan, setiap pulaunya mempunyai ciri khas, baik dari suku, adat kebudayaan dan tata cara kehidupannya. Masyarakatnyapun mempunyai bahasa daerah yang berlainan. Bentuk keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki itu merupakan kekayaan bersama seluruh komponen masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan dan diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Keanekaragaman Budaya
Di
daerah-daerah perbatasan antar negara, antar-suku bangsa, antaretnik, antarras,
dan antargeografis adalah tempat hidup dan tumbuh suatu budaya. Disinilah muncul
situasi dan kondisi masyarakat yang memiliki keragaman budaya. Penggunaan istilah
metaphors (metafora, istilah yang digunakan di AS) untuk menggambarkan kebudayaan
campuran (mixed culture) bagi suku bangsa yang berbatasan dengan AS.
Namun,
kemudian pengertian metafora itu meluas. Di AS sendiri selalu digunakan istilah
cultural diversity atau keragaman budaya (Jason Lin, 2001). Ada beberapa istilah
yang berkaitan dengan konsep metafora, yakni:
1.
Metafora Melting Pot
Merupakan konsep
tertua dari metafora. Metafora ini mengibaratkan AS sebagai wadah besar tempat peleburan
logam, sebuah kontainer yang memiliki temperatur yang sangat tinggi, yang di
dalamnya dapat dijadikan tempat untuk memasak daging atau meleburkan logam.
Konsep ini menggambarkan
situasi awal tatkala para imigran yang berasal dari banyak kebudayaan datang ke
AS untuk mencari pekerjaan. Para imigran itu akhirnya berbaur bersama-sama dengan
orang-orang dari kebudayaan lain-yang telah tiba lebih dahulu-dalam satu kebudayaan
besar sehingga terbentuklah sebuah kebudayaan yang kuat dan perkasa, melebihi kebudayaan
mereka. Kenyataan ini memang bukan merupakan suatu masalah karena salah satu sifat
kebudayaan adalah berubah. Namun, para pendatang itu masih memelihara keunikan kebudayaannya
untuk membedakan keturunan mereka dengan orang lain.
2.
Metafora Tributaries
Adalah sebuah metafora
yang menggambarkan aliran sungai yang airnya merupakan campuran dari aliran
sungai-sungai kecil lain. Aliran sungai itu menuju ke arah yang sama, ke sebuah
muara. Konsep ini menggambarkan budaya AS ibarat sebuah muara sungai yang
merupakan lintasan dari sejumlah budaya yang terus mengalir. Ibarat aliran sungai,
alran itu terus bergerak ke muara, namun sumber-sumber air dari anak sungai itu
tidak akan hilang, bahkan tetap dipelihara ekosistemnya.
3.
Metafora Tapestry
Adalah dekorasi pakaian
yang terbentuk dari helai-helai benang. Konsep ini kemudian diambil untuk menggambarkan
kebudayaan AS sebagai kebudayaan dekoratif, jadi kebudayaan AS itu ibarat
selembar kain yang dijahit dari helai-helai benang yang beraneka ragam warna.
4.
Metafora Garden Salad
Diartikan sebagai sebuah
‘salad’ baru yang dihasilkan dari campuran beragam jenis salad dari pelbagai
suku bangsa di AS. Konsep metafora Garden Salad ini menggambarkan bahwa
kebudayaan AS itu ibarat mangkuk yang berisi campuran salad, sering juga melukiskan
kekuatan budaya AS yang dibentuk oleh campuran pasukan tempur, yang berasal dari
pelbagai budaya yang berbeda-beda, dan kemudian dicampur ke dalam sebuah pasukan
campuran yang khusus dan elit.
Dalam
konteks Indonesia, keberadaan masyarakat pluralistis dengan keragaman kebudayaannya
ditanggapi berbeda-beda. Harsya Bahtiar mengatakan bahwa harus disadari disamping
nation yang besar yaitu nation Indonesia, yang mewadahi kebhinekaan dalam suatu
ikatan rasa kebangsaan, terdapat pula nation-nation lama yang lebih kecil dan
banyak jumlahnya. Nation-nation yang dimaksud adalah suku bangsa – suku bangsa yang
ada di Indonesia. Sementara the founding fathers, mendirikan Indonesia dengan
semangat multikulturalisme dan melahirkan konsep Bhineka Tunggal Ika.
Seorang
guru besar Antropologi Universitas Indonesia, Budhisantoso mengatakan, sesungguhnya
apa yang dibanggakan oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat bangsa Indonesia mempunyai
aneka ragam kebudayaan memang tidak jauh dari kebenaran. Bangsa Indonesia yang
terdiri atas suku-suku bangsa yang besar dan kecil itu masing-masing
mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif mereka terhadap tantangan
yang timbul dalam proses adaptasi di lingkungan masing-masing. Aneka ragam
kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara itu dihayati oleh para pendukungnya
sebagai acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan selanjutnya. Kebudayaan suku
bangsa itu juga berfungsi sebagai ciri pengenal yang membedakan kelompoknya dari
kelompok suku bangsa yang lain (Hidayah, 1996).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keanekaragaman Budaya di Indonesia
Tidak
ada satu pun kebudayaan suatu bangsa dapat hidup sendiri, tanpa adanya suatu
hubungan dengan kebudayaan bangsa lain di dunia. Setiap kebudayaan dan bangsa itu
akan selalu dihadapkan pada pengaruh aneka ragam pemikiran dan pendekatan yang pada
akhirnya berpengaruh pula pada nilai-nilai hakikat yang dianut oleh kebudayaan
masyarakat suku bangsa di dunia.
Apa
saja Keanekaragaman Budaya Dan Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Keanekaragaman Budaya Di Indonesia dalam perspektif
antropologi ? Keanekaragaman budaya masyarakat Indonesia disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya keadaan geografi wilayah Indonesia dan letak kepulauan
Indonesia diantara dua benua dan dua samudra. Posisi dan bentuk negara
Indonesia yang kepulauan ini merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadapkeragaman
suku bangsa di Indonesia.
Selain
letak geografis, faktor lain yang mempengaruhi keragaman budaya masyarakat Indonesia
adalah masuknya berbagai kebudayaan dunia kedalam kebudayaan-kebudayaan suku bangsa
yang sudah ada. Bagi Indonesia, pengaruh budaya luar (budaya asing) sudah
terjadi sejak jaman dahulu. Keaneka ragaman budaya di Indonesia juga diperkaya
dengan kehadiran pendukung kebudayaan dari bangsa-bangsa lain, yaitu sejak berabad-abad
yang lalu, karena penjajahan, hubungan perdagangan, penyebaran agama dan sebagainya.
Keanekaragaman corak budaya yang paling muda dilihat adalah pengaruh kebudayaan
Hindu, pengaruh kebudayaan Islam dan pengaruh kebudayaan Eropa. Sekilas tentang
pengaruh tersebut, Koentjaraningrat (2002: 21-34) menjelaskan sebagai berikut:
1.
Pengaruh Kebudayaan Hindu-Budha
Kebudayaan dunia pertama
kali yang mempengaruhi terjadinya keragaman budaya Indonesia adalah agama dan kebudayaan
Hindu-Budha dari India. Akibat penyebaran ini terjadi peleburan atau difusi
dengan kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang sudah ada.
Pengaruh yang paling kuat
bahkan sampai sekarang ada terutama di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Seperti apa yang
telah kita ketahui semua, tanda-tanda tertua dan adanya pengaruh kebudayaan Hindu
di Indonesia adalah batu-batu bertulis di Jawa Barat atau di daerah sungai
Cisadane dekat kota Bogor.
Batu-batu bertulis juga
ditemukan di Kalimantan Timur, yaitu di daerah Muara karam, Kutai. Bentuk dan gaya
huruf dari tulisan pada batu yang disebut huruf Palawa, raja-raja pada jaman itu
(4 Masehi) mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang
pandai dari golongan Brahmana (Pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu atau
Brahma. Orang-orang pandai tadi tempat konsultasi dan meminta nasehat mengenai struktur
dan upacara keagamaan juga bentuk organisasi di negara di India Selatan.
Pengaruh Hindu dan kesusasteraan Hindu juga masuk dalam kebudayaan Indonesia.
2.
Pengaruh Kebudayaan Islam
Kategori kebudayaan
pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat serta kegiatan dagang yang menonjol.
Kebudayaan tersebut tersebar sepanjang pantai Sumatera dan Kalimantan yang didukung
oleh orang-orang Melayu, dan orang-orang Makasar dari Sulawesi Selatan. Sejajar
dengan naiknya kekuasaan negara-negara di Jawa Timur, pada saat kekuasaan sriwijaya
mundur, kira-kira abad ke-13, perdagangan di Nusantara bagian Barat dikuasahi
oleh pedagang-pedagang dari Parsi dan Gujarat yang waktu itu sudah memeluk
agama Islam. Oleh karena kegiatan berdagang, mereka menduduki pusat-pusat
perdagangan sepanjang pantai bersama-sama dengan para pedagang yang berdatangan
dari berbagai penjuru dunia. Mereka mengembangkan kebudayaan yang berorientasi
pada perdagangan dan sangat mengutamakan pendidikan agama dan hukum Islam,
serta mengembangkan bentuk tari, musik dan kesusasteraan sebagai unsur
pemersatu utamanya.
Gelombang pengaruh pertama
dari ajaran Islam di sana waktu itu mengandung banyak unsur-unsur mistik (suatu
gerakan kebathinan dalam agama, dimana manusia itu mencoba kesatuan total dengan
Tuhan, dengan bermacam-macam cara, berikut yang bersifat samadi dan pemusatan
pikiran maupun yang bersifat ilmu gaib dan ilmu sihir). Agama Islam yang
seperti itu juga dalam folklore orang Jawa ada sebutan “Wali” dan didalam
kepercayaan rakyat dianggap sebagai orang keramat.
Gelombang pengaruh agama
Islam ke dua adalah pada saat orang Indonesia sudah mengunjungi Mekkah dan
Madinah serta kembali dari naik haji. Aceh, Banten, pantai utara Jawa dan Sulawesi
Selatan juga Sumatera Barat, dan pantai kalimantan merupakan daerah yang belum terpengaruh
ajaran Hindu. Sementara di Jawa Tengah dan di Jawa Timur merupakan daerah di mana
pengaruh kebudayaan Hindu itu kuat dan telah mengembangkan suatu corak tersendiri,
agama Islam diubah menjadi suatu agama yang kita kenal dengan agama Jawa atau
kejawen.
3.
Pengaruh Kebudayaan Eropa
Kekuasaan pemerintah kolonial
di Indonesia di Indonesia juga ikut mengembangkan pengaruh bagi kebudayaan Indonesia,
antara lain adanya mentalitas priyayi, pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi
serta agama Katolik dan agama Kristen Protestan pada daerah-daerahndengan
penduduk yang belum pernah mengalami pengaruh Hindu dan Budha, atau yang belum memeluk
agama Islam, misalnya di sebagian besar wilayah Papua, Maluku Tengah dan Selatan,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, NTT dan pedalaman Kalimantan.
Pengaruh budaya luar terhadap
kebudayaan Indonesia selain dapat membawa dampak yang positip dapat pula membawa
pengaruh negatif.
Pengaruh unsur budaya
luar mau tidak mau harus diterima sebagai fenomena baru bagi kekayaan bangsa kita.
Pada dasarnya di era globalisasi diharapkan tidak menutup diri dari masuknya berbagai
unsur budaya luar, karena sama halnya dengan menutup diri dari masuknya unsur budaya
luar. Namun dalam penerimaan budaya luar tersebut hendaknya harus cukup selektif.
Selektif di sini dimaksudkan adalah budaya luar yang memiliki pengaruh negatif tidak
perlu diikuti atau didukung. Misalnya, hidup secara free sex, pola hidup konsumerisme
dan lain sebagainya. Mengantisipasi segala kemungkinan adanya dampak negatif dari
masuknya budaya luar, misalnya, meningkatnya, kejahatan timbulnya kenakalan
remaja, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya.
Sementara itu dampak positip
dari masuknya unsur budaya luar bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari adanya
alih tehnologi. Transformasi kebudayaan yang memungkinkan bangsa kita dapat membangun,
menguasahi ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Adanya interaksi yang baik
dengan bangsa-bangsa lain di dunia juga dapat dirasakan dalam bidang ekonomi,
perdagangan dan transportasi.
Bentuk / Wujud Keanekaragaman
Budaya Di Indonesia
Keanekaragaman
budaya di Indonesia meliputi pada 7 bentuk kebudayaan universal. Berikut ini beberapa
keanekaragaman budaya di Indonesia dalam perwujudannya yang terdapat pada semua
unsur kebudayaan universal.
1.
Bahasa
Koentjaraningrat (1997:16)
menjelaskan catatan etnografi mengenai bahasa suku bangsa tidak perlu sedalam deskripsi
mengenai susunan sistem fonetik, fonologi, sintaksis dan semantik, seperti yang
dilakukan oleh seorang ahli bahasa dalam penyusunan tata bahasa. Pengumpulan
data tentang ciri-ciri yang mencolok, data mengenai daerah persebarannya, variasi
geografi, dan variasi yang ada sesuai dengan lapisan-lapisan sosial yang ada.
Lebih lanjut Koentjaraningrat
menjelaskan, bahwa menentukan luas persebaran suatu bahasa tidak mudah, karena di
daerah perbatasan hubungan antar warga dari dua suku bangsa yang tinggal berdekatan
umumnya sangat intensif, sehingga terjadi saling mempengaruhi. Sebagai contoh, bahasa
Jawa dengan bahasa Madura. Sebaliknya walaupun terletak pada daerah yang
berdekatan tidak menutup kemungkinan juga adanya perbedaan dalam berbahasa
daerah, contohnya bahasa Jawa di Surabaya dengan bahasa Jawa di Trenggalek yang
nota bene masih dalam satu wilayah propinsi, terdapat perbedaan logat (dialek).
Demikian pula penduduk di hilir sungai di tepi pantai Irian Jaya tinggal dalam 24
desa kecil yang hampir semuanya terletak rapi di jalur pantai pasir terbagi
dalam tujuh kelompok namun masing-masing kelompok memiliki bahasa sendiri.
Perbedaan bahasa pada
suku bangsa di Indonesia juga dipengaruhi adanya pelapisan sosial, sebagai contoh:
bahasa Jawa yang digunakan orang Jawa pada umumnya berbeda dengan bahasa Jawa yang
digunakan dalam lingkungan keraton. Perbedaan bahasa berdasarkan lapisan sosial
dalam masyarakat bersangkutan disebut “tingkat sosial bahasa”. Tingkatan bahasa
dalam suku bangsa Jawa yang sangat mencolok adalah kromo dan ngoko. Semakin tinggi
usia atau status lawan bicara, maka semakin tinggi atau halus tingkatan
bahasanya, yaitu kromo andhap, kromo madya atau kromo inggil.
2.
Sistem pengetahuan
Banyak sekali pembahasan
tentang keanekaragaman sistem pengetahuan pada suku bangsa di Indonesia. Namun secara
singkat Grandes menggolongkan bentuk keanekaragaman sistem pengetahuan suku bangsa
di Indonesia itu dalam golongan 10 unsur kebudayaan Indonesia, yaitu :
a.
Astronomi atau perbintangan.
Digunakan untuk
pelayaran di malam hari, juga berkaitan dengan “Zodiak Bekker”, menggunakan perhitungan
bintang untuk meningkatkan hasil panen. Demikian pula perhitungan hari, di Jawa
terkenal dengan sebutan weton (Pon, Wage, Kliwon dan legi), dimana segala aktifitas
yang terkait dengan lingkaran hidup selalu menggunakan perhitungan weton untuk menjaga
keamanan, kelancaran dan kemulyaan hidup.
b.
Metrum / Puisi
Merupakan suatu rangkaian
kata atau kalimat yang tersusun indah. Biasa digunakan dalam bahasa pergaulan. Contohnya
yang terkenal dengan sebutan parikan di Jawa. Bahkan bisa ditemukan pada saat
upacara perkawinan, yaitu pantun berbalas di Sumatera.
c.
Pelayaran
Dengan pengetahuan ilmu
perbintangan (astronomi) dapat membantu para pelaut dalam berlayar (navigasi), selain
itu teknologi perkapalan juga meningkat dari kapal yang berupa perahu lesung (sederhana)
berkembang menjadi kapal bercadik hingga akhirnya kapal pinisi
d.
Pertanian
pertanian di Indonesia
masih bervariasi ada yang masih dalam bentuk berburu dan meramu (food gathering
and hunting) hal ini terjadi di Papua, ladang berpindah seperti yang ada di Kalimantan
dan lain-lain
e.
Seni mengenal Tuang/Logam
Teknik pembuatan
perunggu menghendaki keahlian khusus dan secara sederhana telah diterapkan oleh
masyarakat (berdasarkan penemuan cetakan perunggu di beberapa tempat di Jawa
Barat dan Bali). Contoh, barang perunggu tersebut adalah kapak perunggu yang ditemukan
di daerah Jawa, Bali, Pulau Rote, dan lain-lain. Moko yang merupakan variasi dari
nekara perunggu yang berkembang di Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia ditemukan
antara lain di daerah Dieng, Pejeng, Basang Be dan sebagainnya (Soejono,
1984:25)
f.
Sitem Uang
Sistem uang pada suatu
kerajaan diberikan sebagai suatu penghargaan bergambar tokoh Punakawan.
g.
Orkestra / Musik / Wayang
Seni pewayangan merupakan
karya anak bangsa yang sarat dengan nilai-nilai filosofi yang terdapat pada
kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Demikian pula bentuk fisik dari
seni pewayangan, memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus untuk membuat
maupun memainkannya.
h.
Perdagangan
Adanya perdagangan
secara tradisional dengan memakai sistem barter yaitu pertukaran barang yang dilakukan
oleh masyarakat tradisional.
i.
Pemerintahan
Sistem pemerintahan di
daerah pedalaman biasanya dipimpin oleh tetua adat setempat yang biasanya diturunkan
kepada anak dan kemudian diturunkan kepada anak cucu begitu seterusnya.
j.
Batik
Batik di Indonesia
merupakan suatu hasil karya bangsa yang mengawali munculnya batik-batik lain di
dunia. Dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus untuk membuat batik. Baik
pengetahuan tentang motif batik, tehnik serta peralatan membatik dan pengetahuan
pemilihan bahan untuk membatik. Pembuatan motif batik bukan sekedar menorehkan warna
pada kain, akan tetapi setiap motif batik mempunyai perlambang tersendiri.
Contohnya, motif “semen”,
berasal dari kata “semi” merupakan suatu lambang dari kehidupan yang terus
menerus. Motif “Garuda” menandakan lambang dunia atas, dan motif “Ular” menandakan
lambang dunia bawah. Tehnik dan peralatan membatik menggunakan alat khusus
yaitu canthing (tempat malam), ada yang berlubang satu, berlubang dua atau berlubang
tiga. Sementara dalam pemilihan bahan pewarnapun juga tidak sekedar memberi
warna. Warna merah adalah suatu lambang keabadian/kehidupan dikaitkan dengan
darah. Warna hitam lambang kekuatan.
3.
Organisasi sosial
Manusia sebagai kodratnya
selain sebagai mahluk biologis juga merupakan mahluk sosial. Ini berarti dalam
melakukan aktifitas hidupnya memerlukan manusia lain. Berarti pula dimungkinkan
juga bahwa organisasi sosial yang pertama adalah keluarga dan kekerabatan,
setelah itu baru membentuk kelompok-kelompok yang lebih besar lagi. Sub-sub unsur
dari organisasi sosial meliputi antara lain: sistem kekerabatan, sistem komunitas,
sistem pelapisan sosial, sistem kepemimpinan, sistem politik, sistem ekonomi dan
lain-lain. Kekerabatan bisa terjadi karena hubungan darah dan karena
perkawinan.Sistem kekerabatan pada budaya suku bangsa di Indonesia
beranekaragam bentuknya, namun pada sebagian ada yang memiliki pola yang sama. Contohnya,
pada sub unsur perkawinan, pada umumnya terdapat sub unsur perkenalan, peminangan,
perayaan dan mas kawin. Proses tersebut bisa dalam wujud yang berbeda-beda baik
cara maupun sarananya, namun tujuannya sama. Contohnya, pada sub unsur cara-cara
memperoleh jodoh, terdapat berbagai macam cara, yaitu antara lain :
a.
Meminang, banyak ditemui pada suku-suku bangsa di Indonesia
b.
Menculik gadis, ada dua kemungkinan, yaitu dengan persetujuan orang tua, untuk menghindari
ketentuan membayar mas kawin, misalnya pada suku bangsa di Bali disebut
melegandang, dan kemungkinan lain yaitu tanpa persetujuan keluarganya.
c.
Mengabdi, ini disebabkan karena pihak laki-laki tidak mampu membayar mas kawin,
contohnya dengan mengangkat sebagai anak di Lampung, atau di Bali terkenal
dengan istilah sentana.
d.
Tukar menukar, yaitu pihak laki-laki menyediakan gadis pada saat melamar, tujuannya
untuk dikawinkan pada kerabat perempuan, contohnya ada pada suku bangsa di
Irian Jaya
e.
Sororat, yaitu perkawinan lanjutan, dimana seorang duda mengawini saudara perempuan
istri, di Jawa terkenal dengan sebutan ngarang wuluh
f.
Levirat, yaitu kebalikan dari sororat
Selain itu ada sub unsur
adat menetap. Beranekaragam bentu adat menetap setelah menikah pada suku-suku bangsa
di Indonesia, antara lain:
a.
Utrolokal yaitu memberi kemerdekaan pengantin baru untuk tinggal di sekitar
kerabat suami atau istri
b.
Virilokal yaitu adat menetap di sekitar kerabat suami
c.
Uxorilokal yaitu adat menetap di sekitar kerabat istri
d.
Neolokal yaitu pengantin baru tinggal di rumah baru
Sistem pelapisan masyarakat
pada suku-suku bangsa di Indonesia terdapat beranekaragam bentuknya. Di Bali ada
Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra; di Jawa ada kaum priyayi (keraton) dan
wong cilik penduduk pada umumnya; di Palembang ada golongan priyayi (meliputi:
golongan Pangeran, Raden dan Mas Agus), dan golongan rakyat (meliputi: golongan
Kyai Mas, Kyai Agus dan rakyat jelata yang dibagi lagi menjadi orang Miji,
orang Senan dan Budak), dan lain sebagainya.
4.
Sistem mata pencaharian hidup
Sistem mata pencaharian
berbagai suku bangsa di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan mata pencahariannya,
yaitu: (1) masyarakat pemburu dan peramu, (2) masyarakat peternak (pastoral societes),
(3) masyarakat peladang (shifting cultivators societes), (4) masyarakat nelayan
(fishing communities), masyarakat petani-pedesaan (peasant communities), (5)
masyarakat perkotaan yang kompleks (urban complex societies).
5.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
J.J. Honigman dalam Koentjaraningrat
(2002: 23), menjelaskan bahwa teknologi adalah segala tindakan baku yang digunakan
manusia untuk mengubah alam termasuk tubuhnya sendiri/tubuh orang lain. Obyeknya
meliputi:
a.
Alat alat produksi
b.
Senjata
c.
Wadah. Yang terdiri dari: cetakan yang kemudian dirusak; ceiling technique yaitu
menyusun lintingan tanah liat berbentuk tali panjang sehingga membentuk wadah; modelling
technique yaitu membentuk tanah liat dengan tangan; pottery wheel technique
dengan bantuan alat berputar
d.
Makanan
e.
Pakaian
f.
Rumah
g.
Transportasi
6.
Kesenian
Koentjaraningrat (1997:19)
merumuskan bahwa kebudayaan dalam arti kesenian adalah, ciptaan dari segala pikiran
dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah, sehingga dapat dinikmati
dengan panca inderanya (penglihatan, penciuman,pengecap, perasa dan
pendengaran) Secara umum keanekaragaman di Indonesia yang berwujud kesenian
meliputi seni verbal (dapat didengar), seni rupa (dapat dilihat) dan gabungan
dari seni verbal dan seni rupa.
Keanekaragaman kebudayaan
yang berwujud verbal dari kesenian antara lain, puisi, pantun berbalas, “parikan”,
tembang-tembang atau lagu-lagu daerah. Bahkan irama dari doa-doa yang dilantunkan
pada suatu kegiatan keagamaan, bisa dinikmati melaui pendengaran.
Muatan isi yang ada pada
seni verbal di Indonesia pada umumnya berisi pesan, sindiran, petuah, keindahan
alam dan suasana perasaan. Seni rupa dalam keanekaragaman budaya di Indonesia banyak
berorientasi pada lingkungan, yaitu berupaya meniru alam. Dalam upaya meniru
lingkungan itu, kadang-kadang hampir sempurna. Selain berupaya meniru
lingkungan atau alam, seni budaya pada suku-suku bangsa di Indonesia, memuat
“perlambang-perlambang” sebuah alur kisah atau cerita, harapan-harapan. Contoh
paling lengkap yang memuat semua itu adalah bangunan candi. Selain bentuk bangunannya
yang memuat unsur kosmologi, relief pada dinding candi juga menggambarkan alur
sebuah cerita, misalnya kisah Rama dan Shinta. Simbol-simbol atau
perlambang-perlambang juga banyak ditemui pada bangunan candi, misalnya, pahatan
yang berbentuk kepala Kala (disebut Banaspati=Raja Hutan) pada bagian atas
pintu candi dan pahatan Makara (semacam ikan yang mulutnya ternganga). Arca- arca
kecil dari batu, logam atau perunggu bahkan berlapis emas yang biasa diletakkan
dan ditata secara rapi pada tempat pemujaan, tiang-tiang mbis (patung-patung yang
menggambarkan orang-orang yang disusun secara vertical) pada suku bangsa di Irian
Jaya, merupakan gambaran orang dengan para leluhurnya, dan sebagainya.
Motif-motif batik, tato
pada suku bangsa Dayak dan lukisan pada wajah seorang pengantin perempuan, juga
merupakan salah satu wujud budaya seni lukis/gambar pada suku bangsa di
Indonesia.
Seperti halnya pada seni
pahat, seni lukis pada budaya tradisional suku-suku bangsa Indonesia, juga
memuat perlambang-perlambang. Hasil seni budaya suku bangsa di Indonesia yang merupakan
gabungan antara seni verbal dan seni rupa yang juga dapat dinikmati dan dinilai
keindahannya, misalnya, pada pergelaran seni wayang, ada perangkat gamelan (seni
rupa), irama gamelan (seni musik), tembang-tembang (seni verbal), perangkat wayang
(seni rupa, pahat dan lukis), dan masih banyak hasil-hasil budaya di Indonesia
yang mempunyai nilai estetika tinggi dan dapat dinikmati oleh semua orang.
7.
Sistem religi
Mendiskripsikan tentang
keanekaragaman sistem religi pada suku bangsa di Indonesia, tidak terlepas dari
konsep alam kebudayaan, yang meliputi: alam religi (ketuhanan), alam mistis (gaib)
dan alam profan (duniawi). Selain alam kepercayaan tersebut, sistem religinya juga
memuat unsur pokok religi, yaitu:
a.
Emosi keagamaan (getaran jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk
berperilaku keagamaan.
b.
Sistem kepercayaan atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam, alam
gaib, hidup, maut dan sebagainya.
c.
Sistem ritus atau upacara keagamaan yang berfungsi untuk mencari hubungan
dengan dunia gaib berdasarkan sistem kepercayaan.
d.
Kelompok atau kesatuan-kesatuan keagamaan.
e.
Peralatan keagamaan.
Bagi suku bangsa di Indonesia,
menterjemahkan alam religius atau ketuhanan sangat bermacam-macam, mulai wujud dewa-dewa,
ruh manusia yang telah meninggal, kekuatan sakti, maupun wujud dari bumi dan
alam semesta (yang disebut ilmu kosmogoni atau kosmologi).
Konsep-konsep yang berkembang
pada suku bangsa di Indonesia berkaitan dengan alam meliputi:
a.
Konsep tabu yaitu larangan umum tentang sesuatu hal.
b.
Magi imitative yang menjelaskan bahwa kekuatan gaib dapat menghasilkan dampak
seperti apa yang ditiru (contohnya, santet atau melukai seseorang melalui media
boneka)
c.
Demonologi yaitu bahwa mahluk halus itu bisa melakukan apa saja sesuai dengan
yang mengendalikannya.
d.
Animatisme (dibedakan dari Animisme). Upacara bersih desa.
e.
Konsep Mandala atau kosmologi yaitu ketentraman manusia dapat diperoleh jika mengembangkan
hubungan yang serasi dengan alam (misalnya, pembangunan rumah pada suku bangsa di
Jawa yang menghadap utara – selatan, dan pada suku bangsa di Bali yang terkenal
dengan kaja – kelod).
f.
Konsep Numerologi, misalnya, “penghitungan-penghitungan” untuk mengawali suatu
upacara adat.
i.
Wujud konsekuensi dari konsep-konsep tersebut adalah dilakukannya perilaku
keagamaan yang biasa dikenal dengan sebutan upacara adat.
Pada umumnya suku-suku
bangsa di Indonesia dalam menjalani siklus atau daur kehidupannya (lahir-hidup-mati)
ditandai dengan upacara adat atau perilaku keagamaan, dengan harapan adanya
imbalan keselamatan dalam hidup, serta kesempurnaan dalam menjalani kehidupan
setelah matinya.
Bentuk-bentuk aktifitas
keagamaan, sebenarnya merupakan suatu wujud “kepasrahan” manusia pada kekuatan gaib
yang dipercaya dapat mempengaruhi dan berkuasa atas hidupnya. Kekuatan gaib juga
dipercaya berasal dari benda-benda yang ada di lingkungan manusia, misalnya;
pada sebagian suku bangsa di Irian Jaya memakai kalung yang berhiaskan gigi babi,
dengan harapan si pemakai dapat selamat dari musibah. Pada sebagian masyarakat
Indonesia juga masih percaya pada kekuatan jimat yang berasal dari seseorang
yang dipercaya mempunyai kekuatan supranatural. Bentuk jimat ini bisa berbentu keris,
pusaka, bungkusan yang berisi doa-doa dan dikalungkan atau diikatkan pada tubuh
dan lain-lain.
Seiring dengan kegiatan
religinya, ada media-media yang disiapkan, yang berfungsi sebagai sarana dalam
melakukan ritus atau upacara adat. Dalam kajian antropologis, ini sebenarnya merupakan
suatu bentuk rayuan pada kekuatan gaib, supaya apa yang diinginkan tecapai. Misalnya,
kemenyan, asap kemenyan dipercaya sebagai penghantar doa untuk bisa sampai pada
Yang Maha Kuasa, bentuk-bentuk sajian yang berupa makanan adalah ungkapan pemberian
makan pada roh leluhur (yang dipercaya setiap saat bisa hadir di sekitarnya) dan
mau ikut menjaga kehidupan orang atau keluarga bahkan masyarakat pelaku upacara
adat. Pada beberapa suku bangsa Jawa (khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah) yang
nota bene beragama Islam, dalam melakukan aktifitas keagamaannya masih
menyertakan sesaji (bunga-bunga, makanan dan kemenyan) dalam kegiatan
ritualnya. Biasa dikenal dengan agama Jawa Islam Abangan.
Pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha juga dapat ditemui pada bentuk bangunan fisik pada beberapa masjid
jaman dahulu, yaitu pada bentuk bagian atap yang mirip sebuah kuil. Sarana atau
media dalam melakukan kegiatan adat tersebut, selain benda-benda, media manusia
juga dipercaya bisa menghubungkan antara pelaku religi dengan kekuatan gaib yang
ada dalam kepercayaannya, misalnya, dukun, shaman. Bahkan pada era modern di saat
magis sudah sering tidak berhasil, banyak masyarakat yang mulai beralih pada
kekuatan-kekuatan doa para pemimpin keagamaan untuk membantu kesulitan hidupnya,
misalnya: dengan bantuan doa seorang pemimpin agama diharapkan dapat melepaskan
diri dari bala (misalnya, rasa sakit, musibah dan lain-lain).
Kelompok atau
kesatuan perilaku keagamaan atau kepercayaan di Indonesia nampak dari atribut yang
digunakan dalam aktifitas keagamaannya, bangunan atau sarana fisik yang
dipergunakan dalam pemujaan termasuk yang ada di tempat tinggalnya. Misalnya: hampir
seluruh masyarakat di Bali, pada halaman rumahnya terdapat tiang (untuk menaruh
sesaji) atau bangunan untuk pemujaan, ini merupakan kesatuan penganut agama
Hindu.
Sistem religi yang dianut
oleh semua suku bangsa di Indonesia sangat banyak, namun walaupun macam maupun sarananya
beranekaragam, semua tujuannya satu, yaitu memuja pada satu kekuatan gaib yang dianggap
suci dalam hidupnya untuk dapat memberikan keselamatan dan kemulyaan dalam hidup
dan kesempurnaan dalam hidup setelah mautnya.
Dampak-dampak
keanekaragaman budaya di Indonesia
Upaya
memahami keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah bertujuan
untuk mengungkap berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi pada berbagai
suku bangsa atau etnis yang saling berbeda kebudayaannya. Ada kecenderungan bahwa
setiap orang akan mengidentifikasikan dirinya dengan suku bangsa tertentu, sementara
di pihak lain juga berusaha mengidentifikasikan perilakunya dengan latar belakang
suku bangsanya sendiri.
Dalam
kehidupan masyarakat majemuk seperti Indonesia, seringkali muncul gambaran subyektif
mengenai suku bangsa lain atau biasa disebut stereotype ethnic. Sekalipun ruang
lingkup pengertian stereotipe etnik tidak selalu berupa gambaran yang bersifat
negatif, tetapi acapkali gambaran yang muncul lebih bersifat negatif dari pada
positif.
Integrasi
bangsa dimaksudkan dalam pengertian antropologi adalah proses penyesuaian di antara
unsur-unsur budaya yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan secara politis berarti penyatuan kelompok budaya dan
sosial ke dalam kesatuan wilayah nasional yang membentuk suatu identitas
nasional. Integrasi bangsa atau intergrasi nasional diartikan pula sebagai
suatu kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil yang satu sama
lain secara sadar mengikatkan diri dalam suatu wadah yang lebih besar. Bagian-bagian
kecil itu adalah suatu suku bangsa atau nation yang ada di seluruh nusantara yang
karena mempunyai kesamaan latar belakang dan solidaritas satu sama lain bersatudan
membentuk satu kesatuan yang lebih besar serta lebih kokoh guna mencapai
tujuannya.
Keanekaragaman
suku bangsa sebagai suatu kondisi dasar dalam masyarakat plural memiliki
implikasi yang luas. Konflik yang lahir akibat keanekaragaman tersebut, telah menjadi
ancaman bagi keamanan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Untuk itu,
berbagai akomodasi kultural yang merupakan sumber dalam mengatasi berbagai
konflik perlu dianalisis keberadaannya dan efektivitasnya dalam berbagai lingkungan
sosial. Usaha ini dapat dapat dimulai dengan melihat kembali bagaimana konstruksi
sosial dari etnisitas itu sendiri dalam seting sosial budaya tertentu karena ini
akan menegaskan hubungan-hubungan yang kompleks antara etnis dan parameter sosial
yang lain.
Keberadaan
suatu etnis di suatu tempat memiliki sejarahnya secara tersendiri, khususnya menyangkut
status yang dimiliki oleh suatu etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai
suatu etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis
asal yang terdapat di suatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang
dalam posisi yang relatif lemah. Namun demikian, etnis tersebut memiliki status
yang relatif seimbang dengan etnis lain pada saat mereka sama-sama berstatus sebagai
pendatang dalam lingkungan sosial yang baru. Hubungan semacam ini hanya dapat
dibenarkan dalam suatu lingkungan sosial karena ciri lingkungan sosial inilah yang
kemudian mengartikulasikan kembali apa yang disebut sebagai etnis itu sendiri. Ruang
sosial yang merupakan ruang publik merupakan tempat dimana berbagai perbedaan
dipertemukan.
Terhadap
gambaran diatas, maka diperlukannya cara pandang yang jelas dan terarah dalam
setiap melihat permasalahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Penanganan yang
cermat dan tepat dalam menyikapi permasalahan sosial budaya bisa ditelusuri dari
latar belakang suku-suku bangsa yang ada.
Untuk
mengungkapkan persoalan keanekaragaman budaya,
setidaknya
ada tiga strategi yang perlu dipertimbangkan. Pertama, perlu ditemukan titik-titik
interaksi antaretnis yang meliputi tempat, kegiatan, dan simbol-simbol yang digunakan
dalam komunikasi. Kedua, selain itu perlu diperhatikan bentuk ekspresi etnis
yang tampak dari bahasa yang dipakai, tingkah laku dan penataan ruang dalam
rumah. Dengan cara ini persepsi tentang berbagai hal yang menyangkut interaksi antaretnis
dapat dipahami dengan baik. Ketiga, perlu ditemukan bentuk-bentuk kesepakatan terutama
bagaimana selama ini komunikasi antaretnis terjadi dan bagaimana perbedaan antar
etnis ditegaskan dan diterima sebagai bagian yang sah dalam suatu lingkungan permukiman.
Berbagai hal yang berkaitan dengan unsur sosial dan komunal yang dibentuk bersama
oleh berbagai etnis dan pranata yang telah eksis perlu direkonstruksikan
kembali.
Ketiga
aspek yang dikaji tersebut akan memperjelas pendekatan yang digunakan dalam kajian-kajian
tentang kesuku-bangsaan. Untuk tujuan ini perlu diketahui sisi kesejarahan suatu
lingkungan sosial dan ciri-ciri umum seperti pengelompokkan orang dalam satu permukiman.
Selain itu, kajian yang menyangkut aspek kesejarahan ini akan menjelaskan
“alasan” dari kehadiran suatu ekspresi budaya dan juga akan menjelaskan “nilai-nilai”
tertentu yang ada di balik ekspresi tersebut.
Tujuan
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang tiada lain integrasi nasional, memajukan
dan meningkatkan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, serta menjadikan
masyarakat yang adil dan makmur. Usaha untuk mewujudkan itu direalisasikan dengan
pembangunan di segala sektor kehidupan. Pembangunan kebudayaan daerah berarti pembangunan
kebudayaan nasional. Sebaliknya pembangunan kebudayaan nasional berarti juga pembangunan
kebudayaan daerah. Ini disebabkan karena masing-masing kebudayaan daerah sudah terintegrasi
ke dalam kebudayaan nasional. Pembangunan kebudayaan nasional hanya bisa
berjalan dengan lancar bila integrasi nasional terpelihara dengan baik. Oleh sebab
itu, upaya menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa adalah menjadi salah
satu program pembangunan nasional.
Pembangunan
merupakan partisipasi aktif semua anggota masyarakat. Perencanaan, pelaksanaan dan
hasil pembangunan tidak akan ada artinya tanpa dukungan dan keterlibatan masyarakat
di dalamnya. Dalam pembangunan ini tidak membedakan agama, golongan, suku dan
tempat tinggal. Selain partisipasif aktif dari semua anggota masyarakat, sikap
toleransi juga perlu dikembangkan bagi setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi
terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu akomodasi. Sikap oleransi
tersebut diharapkan dapat mendorong terjadinya komunikasi, dan sikap ini akan
mempercepat terjadinya asimilasi.
Tidak
kalah pentingnya dalam peran integrasi bangsa, maka sikap empati perlu juga dikembangkan
dalam masyarakat. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence menjelaskan,
bahwa empati memungkinkan seseorang untuk menghayati masalah yang tersirat
adanya perasaan orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata.
Melalui
empati, seseorang tidak hanya keluar diri dalam usaha memahami orang lain, tetapi
juga melakukan pemahaman internal sebagai berikut:
1. Kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda,
akan mendorong seseorang mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Dengan menggunakan mobilitas pikirannya, seseorang dapat menempatkan diri pada posisi
perannya sendiri maupun peran orang lain sehingga akan membantu melakukan
komunikasi efektif.
2. Mampu berempati mendorong seseorang melakukan tindakan
altruistis, yang tidak hanya mengurangi/menghilangkan penderitaan orang lain. Merasakan
apa yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif
terhadap individu itu.
Kemampuan
untuk memahami perspektif orang lain membuat seseorang menyadari bahwa orang
lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini membuat individu
lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta memperhatikan pendapat
orang lain mengenai dirinya. Proses itu akan membentuk kesadaran diri yang baik
dimanifestasikan dalam sifat optimis, fleksibel, dan emosi yang matang.
Demikian
materi pembelajaran tentang Keanekaragaman
Budaya dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman Budaya Di Indonesia
dalam perspektif antropologi. Semoga ada manfaatnya, terima kasih.
Tidak ada komentar