Tes kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada hasil
pemikiran ilmu bahasa pada pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa.
Dalam kajian dikenal adanya beberapa cara pandang dan unsur yang dianggap
penting sesuai dengan perkembangan ilmu. Tes bahasa mengenal 6 bentuk
pendekatan: 1) pendekatan tradisional; 2) pendekatan diskret; 3) pendekatan
integratif; 4) pendekatan pragmatik; 5)
pendekatan komunikatif, dan 6) pendekatan otentik.
1) Pendekatan Tradisional
Pendekatan tes
bahasa tradisional melakukan tes tidak berdasarkan patokan atau rambu-rambu
baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara mengetes, dan
bagaimana cara menilainya semuanya diserahkan kepada penyelenggara tes.
Biasanya pendekatan tradisonal lebih mengutamakan tes tata bahasa sebagaimana
proses pembelajarannya. Dalam penerapannya tes bahasa pendekatan
tradisional lebih banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektivitas dalam
pemilihan kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, penetapan bahan dan isi
tes, serta cara penilaiannya.
2) Pendekatan Diskret
Discrete point
test: merupakan tes yang hanya menekankan/ menyangkut
satu aspek kebahasaan pada satu waktu. Tiap butir tes hanya untuk mengukur satu
aspek kebahasaan: fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata. Tes diskret juga
dapat menyangkut tes keterampilan berbahasa. Dasar pemikiran tes diskret (juga
dalam hal pengajaran) adalah teori strukturalisme (linguistik) dan behaviorisme
(psikologi). Kedua teori itu beranggapan bahwa keseluruhan dapat dipecah-pecah
ke dalam bagian-bagian atau, keseluruhan adalah jumlah dari bagian-bagian. Tiap
bagian tersebut (kebahasaan dan keterampilan) dapat diajarkan dan diteskan
secara terpisah. Pembelajaran dan pengujian kebahasaan dalam teori ini
mengabaikan konteks.
Pandangan bahwa
teori tes diskret dapat memecah-mecah unsur kebahasaan dan menghadirkannya
dalam keadaan terisolasi, dianggap sebagai kelemahan tes diskret yang paling
mencolok. Orang tidak mungkin belajar bahasa dalam situasi yang mutlak diskret
dan terisolasi (tanpa konteks). Lagi pula dalam hal belajar bahasa, keseluruhan
belum tentu sama jumlah dari bagian-bagian ada kompetensi yang harus
dimiliki seseorang yang di luar kebahasaan (pendekatan komunikatif). Kompetensi
komunikatif memprasyaratakan kompetensi-kompetensi lain selain unsur bahasa,
misalnya kompetensi sosial (faktor sosio-kultural). Faktor
sosio-kultural memegang peran penting dalam menunjang kompetensi komunikatif
seseorang. Tes diskret gagal untuk mengukur kompetensi komunikatif yang justru
memprasyaratkan adanya keterlibatan banyak unsur kebahasaan dan faktor yang di
luar bahasa.
Persoalan yang
muncul adalah apakah tes diskret tidak perlu lagi dipergunakan di
sekolah untuk mengukur kadar keberhasilan belajar bahasa
siswa? Teori baru dibangun atau sebagai reaksi teori sebelumnya;
yang baru tak dapat sama sekali meninggalkan yang lama. Pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran bahasa tak dapat sama sekali meninggalkan pandangan
strukturalisme. Dalam tahap awal pembelajaran bahasa bagi orang dewasa,
pengajaran unsur struktural bahasa masih amat dibutuhkan. Orang tidak akan bisa
begitu saja diajak berbicara bahasa asing sebelum memiliki pengetahuan tentang
sistem bahasa itu. Artinya, pengajaran unsur bahasa masih diperlukan. Jika pengajaran
unsur struktur masih dilakukan, tes diskret mau tidak mau masih juga diperlukan
atau minimal untuk tujuan remidial.
3) Pendekatan Integratif
Integrative
test merupakan bentuk tes yang mengukur lebih dari unsur
kebahasaan atau satu keterampilan berbahasa dalam satu waktu. Dalam tes
integratif, ada beberapa unsur kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang
harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan. Dalam satu kali tes minimal ada dua
aspek/keterampilan yang diukur. Aspek-aspek kebahasaan tidak saling dipisahkan,
melainkan dipadukan sehingga ada keterkaitan antar unsur/ antar keterampilan.
Bahasa yang alamiah bukanlah kumpulan dari unsur-unsur bahasa semata. Dalam tes
keterampilan bahasa, bahkan akan lebih baik jika juga mempertimbangkan aspek
konteks. Tes integratif memang sudah memadukan beberapa unsur kebahasaan,
tetapi belum tentu kontekstual. Tes yang kontekstual lazimnya bersifat
pragmatik/komunikatif. Tes pragmatik/komunikatif pasti integratif, tetapi tes
integratif belum tentu pragmatik.
Tes integratif
yang tidak kontekstual masih terisolasi, mirip-mirip dengan tes diskret, belum
mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah. Berbagai tes unsur kebahasaan yang
diteskan minimal berada dalam konteks kalimat, atau konteks yang lebih besar.
Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat
lebih menjanjikan daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah
disesuaikan dengan pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan
pembelajaran, yang dipergunakan dalam pembelajaran bahasa di kelas.
4) Pendekatan Tes Pragmatik
Tes pragmatik
berangkat dari pandangan bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang
dinyatakan memiliki kompetensi berbahasa adalah jika mampu mempergunakan bahasa
itu dalam konteks yang sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam
tes keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar atau peserta
didik mampu mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang
sesungguhnya.
Tes pragmatik
adalah prosedur/tugas yang menuntut pembelajar menghasilkan urutan unsur bahasa
sesuai dengan pemakaian bahasa secara nyata, dan sekaligus menuntut pembelajar
menghubungkannya dengan konteks ekstralinguistik. Dalam tes pragmatik tak ada
lagi tes struktur/kosakata secara tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan
terlibat dan langsung dikaitkan dengan unsur ekstralinguistik sekaligus. Dalam
kehidupan berbahasa ada dua hal yang terlibat: konteks linguistik dan
ekstralinguisik. Konteks linguistik: bahasa sebagai lambang verbal dengan
segala unsurnya
Konteks
ekstralinguistik merupakan dunia atau sesuatu yang di luar bahasa, sesuatu yang
disampaikan lewat media bahasa. Dalam kehidupan berbahasa terdapat hubungan
sistematis dan timbal-balik antara kedua konteks tersebut. Ada berbagai hal di
luar bahasa yang berpengaruh terhadap pemilihan wujud bahasa dalam
berkomunikasi, dan itulah yang disebut sebagai faktor penentu atau pragmatik.
Faktor pragmatik/faktor penentu ada banyak jenisnya, misalnya siapa yang
berkomunikasi, apa tujuan komunikasi, masalah yang dikomunikasikan, tingkat
formalitas ketika komunikasi terjadi, dan lain-lain.
Tes pragmatik
mengukur kemampuan berbahasa pembelajar dalam konteks yang sesungguhnya. Namun,
itu harus ada kesesuaian dengan metode pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa
haruslah menekankan pada kemampuan berbahasa, bukan sistem bahasa. Dengan
begitu ada keselarasan antara model pembelajaran dan model penilaian. Namun,
pada praktiknya tidak mudah menguraikan pembelajaran bahasa yang benar-benar
kontekstual dan komunikatif. Artinya, pembelajaran “penggunaan bahasa”,
kemampuan berbahasa, masih saja artifisial, namun itu sudah lebih baik daripada
yang benar-benar diskret dan terisolasi. Tes pragmatik yang masih berwujud
penggunaan dalam konteks artifisial juga sudah lebih baik daripada yang
benar-benar diskret yang hanya bertujuan mengukur pengetahuan tentang sistem
bahasa.
Ada banyak model dan contoh, dan
salah satunya adalah tes tescloze (cloze test). Tes jenis ini baik dipakai untuk
pemahaman bacaan; tes pemahaman wacana dengan tes objektif berkorelasi secara
positif dengan hasil tes cloze. Tes cloze adalah
tes yang berupa pengisian kembali kata-kata ke-n yang sengaja dihilangkan dalam
sebuah wacana. Kata-kata yang dihilangkan biasanya kata yang ke-5, ke-6,
ke-7. Untuk dapat mengisi tempat-tempat kosong, pembelajar harus memahami makna
wacana. Teknik penyekoran: teknik kata eksak (jawaban siswa harus sama dengan
kata asli yang dihilangkan) dan teknik kelayakan konteks (jawaban siswa tidak
harus persis dengan kata asli sepanjang dimungkin secara konteks).
Teknik
kelayakan konteks lebih menguntungkan; semua kata yang mempunyai peluang
sebagai jawaban benar diperingkat (diskala; 1-4). Tescloze juga
baik untuk menilai tingkat kesulitan wacana bagi pembelajar level tertentu:
jika jawaban benar siswa ≥75%, wacana itu tergolong mudah; jika ≤20% wacana
tersebut tergolong sulit. Jika yang diteskan itu sampel dari wacana yang
panjang, hasil tes itu mencerminkan tingkat kesulitan wacana secara
keseluruhan.
5) Pendekatan Tes Komunikatif
Sebenarnya ada
tumpang-tindih antara tes pragmatik dan tes komunikatif; bahkan tak jarang
keduanya disamakan. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa pembelajaran dan tes
bahasa haruslah berangkat dari penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes
tentang sistem bahasa dan dalam keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini
sama-sama menekankan pentingnya tes kemampuan berbahasa (kinerja bahasa,
performansi bahasa), dan bukan tes terhadap unsur-unsur bahasa (diskret).
Tampaknya, adanya perbedaan itu lebih disebabkan oleh penamaan yang diberikan
oleh orang yang berbeda. Tes komunikatif atau tes kompetensi komunikatif
terlihat lebih ketat memprasyaratkan adanya konteks pemakaian bahasa.
Tes komunikatif
dilakukan sejalan dengan penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran
bahasa. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran bahasa sesuai dengan
fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau
komunikasi dengan bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan
aktif-produktif (berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan
semua aspek bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang
berkomunikasi yang juga melibatkan seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa
yang otentik (authentic language) menjadi semacam keniscayaan, dan itu
juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa otentik adalah bahasa yang dijumpai
dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal
yang demikian sebenarnya juga menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes
komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang
jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah
dikreasikan sedemikian rupa dengan melibatkan berbagai faktor penentu sehingga
pembelajar tahu apa wujud bahasa yang mesti dipergunakan sesuai dengan konteks
itu. Misalnya, tes pemahaman terhadap sebuah dialog (menyimak), maka harus
dapat dikenali siapa yang berbicara, bagaimana situasi, topik pembicaraan, dan
lain-lain. Tes terhadap komponen bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika
diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus berdasarkan konteks; hal ini
misalnya terkait dengan tujuan remidial . Artinya, kosakata dan struktur itu
diambil dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif, terutama dalam tes
pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu masih diperlukan.
6) Tes Otentik
Sebagaimana
halnya portofolio, sejak era KBK/KTSP, penilaian otentik (authetic assessment)
kini sedang naik daun. Dalam arti disarankan dan banyak digunakan untuk
mengukur hasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa. Portofolio juga
merupakan salah bentuk penilaian otentik. Penilaian otentik mementingkan
penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan demikian, seluruh tampilan siswa
dalam rangkaian KBM dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak
semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja.
Lagi pula amat
banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya haruslah
dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
Sejalan dengan teori Bloom, penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif,
dan psikomotorik. Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan
saja Misalnya dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan,
angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-lain. Penilaian yang
dilakukan lewat berbagai cara (model), menyangkut berbagai ranah, serta
meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian
otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin
objektivitas, bersifat nyata dan konkret, benar-benar hasil tampilan
siswa, serta akurat dan bermakna.
Tes otentik
dapat dimaknakan bermacam-macam, tergantung oleh siapa dan untuk lingkup apa,
namun umumnya bersifat saling melengkapi. Penilaian otentik menunjuk pada
pemberian tugas kepada pembelajar untuk menampilkan kemampuannya mempergunakan
bahasa target secara bermakna dan kemudian dinilai. Authentic assessment: a form of
assessment in which students are asked to perform real-world tasks that
demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills (John Mueller, 2008). Authentic
assessment: performance assessment call upon the examinee to demonstrate
specific skills and competencies, that is, to aplly the skills and knowledge
they have mastered (Richard J. Stiggins, 1987)
Sumber
Bacaan:
Arifin,
Zainal. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011.
Ariani, Farida.
2006. Keterampilan Menyimak. Depdiknas Ditjen PMPTK PPPG Bahasa.
Djiwandono,
M.S. 2008. Tes Bahasa, Pegangan bagi Pengajar Bahasa. Jakarta:
Indeks.
Kamidjan dan
Suyono. 2000. Menyimak. Jakarta: Depdiknas-Ditjen Dikdasmen
Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Keraf. Gorys.
2001. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah Percetakan Arnoldus
Keraf. Gorys.
1998. Narasi dan Argumentasi. Ende-Flores: Nusa Indah
Percetakan Arnoldus.
Maidar, Arsyad
G. 1994. Bahasa dan Proses Pengejaran Menyimak.Jakarta: Departemen P dan K
Ditjen Dikdasmen. PPPG Bahasa.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
BPFE.
Ramayulis. 2008.
Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Safari.
2002. Pengujian dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia.Jakarta: PT
Kartanegara.
Tarigan, Henry
Guntur. 1987. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
___________________.
2004. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
___________________.
2006. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Taufik. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Inti Prima. 2010.
Zainal Arifin, 2011Evaluasi
Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Assalamulaaikum. ada musik dan lagu . bagus
BalasHapus